Friday, February 09, 2018

Perjalanan Pia (Dimuat di Majalah Gadis bulan November tahun 2017)

Doc. Pribadi
“Mama senang kamu ke sini.”
Pia membalas pelukan mamanya dan meringis ketika dekapan itu semakin erat.
Mama masih sama seperti terakhir kali dia mengingatnya. Potongan rambutnya juga tidak berubah. Mama selalu mempertahankan rambut ikal sebatas tengkuknya. Hanya harum tubuh Mama yang asing bagi Pia.
Mama menanyakan kabar Papa sembari menarik koper bawaan Pia.
“Akhir-akhir ini Papamu nggak bisa ngobrol lama-lama sama Mama, Pi. Papamu sedang sibuk, ya?”
Mama menoleh karena tak didengarnya jawaban dari Pia. Padahal Pia sudah menjawab ‘ya’ meski hanya dia yang dapat mendengarnya. Changi sore itu memang luar biasa bisingnya.
“Capek, ya, kamu?”
Mama mengambil ransel di bahu Pia dan memindahkannya ke bahu kirinya. Sementara lengan kanannya bergerak merengkuh bahu Pia. Untuk sesaat Pia tenang karena Mama mengira dia lesu karena lelah.
***
Apartemen Mama di Little India terasa tak jauh beda dengan apartemen Papa di Kalibata. Hanya orang-orang di sekitarnya saja yang membuat Pia canggung. Mereka dengan ringan melempar senyum. Muka-muka ramah yang justru membuat Pia ingin segera berlari ke sudut ruangan dan menutup dirinya dengan apapun.
“Kamu nggak buru-buru pulang, kan?”
Pia menghirup uap yang keluar dari mangkuk penne carbonara-nya sebelum menggelengkan kepalanya. Kegemaran makanan mereka masih sama, pasta. Dan pasta buatan Mama tak ada duanya buat Pia.
“Kalau boleh, Pia rencananya mau empat hari di sini, Ma.”
Lihat, seiring bahu yang sontak menegak dan mata yang membulat, Mama memekik senang. Pia bahagia bisa melihat lucunya ekspresi Mama lagi.
“Kamu mau seminggu juga boleh, sayang. It’s ok!”
Tapi sedetik kemudian bibir Mama mencebir sebal.
But, mungkin kamu harus sendirian dulu hari ini. Mama ada ada meeting penting.”
Tangan Mama bergerak menggenggam kedua tangan Pia.
“Maaf, ya. Mama usahakan bisa pulang lebih cepat, lalu kita dinner di tempat yang asyik.”
Pia mengangguk. Sambil perlahan menghabiskan sarapannya, mata Pia menikmati pemandangan saat Mama berloncatan dari meja dapur, memungut buku-buku di ruang tengah, mengeluarkan handuk ke balkon, menyusun benda-benda di atas kulkas, menata bantal kursi dan merapikan tempat tidur. Semua bisa Pia ikuti dari tempatnya duduk, di kursi bar, di dapur mini Mama.
Coba Papa melihat ini. Pasti ijin melepas Pia untuk tinggal bersama Mama tidak akan pernah dikeluarkan. Papa mengira setelah menjalani karir yang diimpikannya, hidup Mama akan lebih rapi dan teratur. Namun rupanya tidak.
Entah kenapa Pia justru ingin tersenyum. Baginya Mama merasa bahagia saja sudah cukup. Pia tidak pernah merasa kehilangan cinta Mama, meski wanita itu lebih memilih peluang karir yang hebat daripada bersama Pia. Dia cukup mengerti bahwa ketika itu bukan Mama yang ingin berpisah dengannya, tapi Papa yang tidak mengijinkan Mama membawa Pia.
“Mamamu itu selebor. Papa lebih bisa mengurusmu daripada Mama.”
Waktu Papa mengatakan itu, Pia juga tak bisa berkeluh. Itulah bentuk cinta Papa. Tapi itu kemarin, waktu hanya ada Pia dan Papa berdua saja. Tapi sekarang ada Tante Ina. Masih bisakah Papa mengurusnya?
Apalagi dengan kondisi Pia sekarang ini. Hidup bersama Mama yang berjiwa riang dan ringan akan lebih nyaman bagi Pia. Karena kecemasan yang kerap bersarang di mata Papa hanya membuat dada Pia makin tercubit.
***                
Seingat Pia janji Mama memang tidak pernah meleset. Sore ini pun Mama memenuhi ucapannya dengan muncul di pintu apartemen tepat waktu.
“Yuk, sudah siap?”
Pia tak heran lagi melihat Mama yang hanya masuk untuk berganti alas kaki dan menukar blazernya dengan cardigan.
“Nggak ingin mandi dulu, Ma?”
Mama memberi kode pada Pia untuk mengikutinya.
“Mama biasa mandi malam, karena pulangnya selalu malam juga,” seloroh Mama diikuti tawanya yang lepas dan renyah. Mood Pia yang semula jelek karena bosan pun berangsur membaik.
Setelah melewati dua stasiun MRT, Mama membimbing Pia turun ketika kereta tiba di stasiun Clarke Quay.
”Di sini tempatnya anak-anak muda hangout. Semoga kamu suka!”
Begitulah Mama. Tidak pernah belagak sok tua dengan menebak apa yang Pia suka. Dan harapan Mama terkabul. Pia memang menyukai atmosfer ceria di dermaga ini.
Banyak muda-mudi seusia Pia yang berkelompok duduk-duduk santai di tepi Singapore River. Pia memberi isyarat pada Mama ketika akan mengambil bangku yang sedikit menjauh dari keriuhan, meski masih berada di dekat bibir sungai juga. Restoran-restoran yang ada di situ baru sedikit yang buka, jadi suasana sore itu masih belum begitu ramai. Sambil menunggu Mama membawakannya makan malam, Pia mengikuti alun perahu-perahu kecil berlampu warna-warni dengan matanya.
“Tadi Papamu telpon Mama,” Mama meletakkan nampan yang dibawanya sebelum duduk di seberang Pia,”Papamu ingin tahu apakah kamu baik-baik saja.”
Pia takjub dengan chicken wings satu pot besar yang ada di hadapannya. Dia baru sadar kalau tidak ada makanan lain yang dibawa oleh Mama. Jadi ini yang disebuat makan malam oleh Mama? Pia geli sendiri namun dia menyimpan senyumnya.
“Papa bilang apa lagi, Ma?”
Mama terlihat sedikit ragu sebelum memberikan jawabannya. “Hmmm …, Papamu bilang kalau … dia mau menikah lagi.”
Pia menegakkan punggung lalu mendekatkan wajahnya ke arah Mama. Senyumnya mengembang.
“Tenang, Ma. Aku nggak papa, kok! Tante Ina, calonnya Papa itu orangnya baik.”
Kekhawatiran di wajah Mama lenyap. Berganti dengan pandangan menyelidik dengan satu alis mata terangkat.
“Seperti apa Tante Ina itu?”
Pia mencecap-cecap sayap ditangannya. Sengaja memberi jeda tak segera menjawab untuk menggoda Mama.
“Sama sekali tidak seperti Mama,” ujar Pia singkat. Matanya melirik pada Mama. Lalu sedetik kemudian mereka terbahak sama-sama.
“Syukurlah …, syukurlah …,” kata Mama disela sengal tawanya.
“Lalu, Papa cerita apa lagi, Ma?” Pia merasakan suaranya sendiri bergetar. Semoga Mama tidak menyadarinya.
“Cuma itu aja. Selain menanyakan kabarmu, dan kapan kamu mau pulang.”
Debar di dada Pia semakin membuatnya gugup. Buru-buru disambarnya gelas orange juice dan membuang pandangannya kembali pada perahu-perahu kecil di atas air sungai yang mulai memantulkan cahaya lampu-lampu hias. Berarti Papa menepati janjinya untuk membiarkan Pia sendiri yang bercerita pada Mama.
***
Ornamen-ornamen decoupage di beberapa sudut ruangan menyelamatkan dinding apartemen Mama dari kekosongan. Hanya ada dua bingkai foto di dalam apartemen dua kamar itu. Satu di atas nakas di kamar Mama, satu lagi di atas meja kaca yang membatasi dapur dan ruang tengah. Keduanya berisi foto Pia dan Mama.
Pia menoleh dengan enggan dan mengernyit heran saat Mama keluar dari kamar memakai baju yang dipakainya semalam. Geraknya pun santai. Tidak gedubrakan seperti biasa kalau akan berangkat kerja.
“Besok, kan, kamu mau pulang. Jadi Mama ambil cuti dua hari,” jawab Mama waktu Pia menyatakan keheranannya.
“Jadi, kamu mau Mama antar kemana hari ini?”
Pia menaikkan kerah kimono yang dia pakai. Tiba-tiba saja hawa dingin menyelinap dan membelai tengkuknya.
“Nggak usah kemana-mana, Ma. Kalau cuma mal pertokoan, sih, di Jakarta juga ada.”
Denting kepala sendok beradu dengan dasar gelas mengisi keheningan, bersamaan dengan harum kopi yang menguar.
“Di sini nggak melulu pertokoan, lho! Ada wisata alamnya juga.”
Segelas teh hangat berpindah ke tangan Pia. Mama yang membuatnya.
“Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol aja?”
Terburu-buru Mama meletakkan cangkir kopinya. Punggung tangannya bergerak menyentuh dahi dan kedua pipi Pia.
“Kamu sakit? Nggak panas, tuh? Capek ya, kebanyakan jalan?”
Senyum simpul terukir di wajah Pia waktu Mama bicara panjang lebar tentang kebiasaan jalan kaki orang-orang di Singapura.
“Kalau kita jalan 300 meter aja udah merasa jauh. Kalau di sini, 500 meter sampai 1 kilo masih dibilang dekat.”
Tangan Mama bergerak lagi. Kali ini telapak tangannya menangkup di kedua sisi leher Pia.
“Nggak hangat , tuh.”
“Ma …,” Pia mengambil tangan Mama dari leher namun tak melepaskan genggamannya.
“Aku mungkin akan tinggal dengan Mama.”
Lagi-lagi Pia mengernyit ketika genggaman tangan Mama tiba-tiba mengencang.
“Benar? Tapi kenapa?” Mama membutuhkan satu teguk kopi untuk menenangkan dirinya,”Apa karena Papamu mau menikah lagi?”
Pia membenarkan ucapan Mama lewat senyuman dan alis yang naik turun.
“Iya, salah satu sebabnya itu.” Perlahan punggung Pia rebah. Kepalanya memaling ke kanan menumpukan pipi pada puncak sandaran kursi, lalu menatap lekat tepat di mata bulat Mama.
“Aku sakit, Ma.”
Sungguh Pia ingin berhenti bicara ketika dilihatnya Mama berangsur pias dan lupa menarik napas. Tapi dia harus bercerita selagi masih ada nyawa di tubuhnya. Tentang penyakit leukemia yang tiga tahun lalu diketahui hinggap di badannya. Tentang entah bagaimana penyakit itu tahu-tahu sudah menjadi stadium tiga.
“Papa menunggu aku memberi tahu Mama. Setelah itu Papa akan membicarakan segala sesuatunya dengan Mama.”
“Tapi …, bagaimana …?” Kelu batin Pia melihat Mama yang mendadak jadi gagu.
Pia menjelaskan hasil diskusinya dengan Papa. Tapi dia melewatkan bagian dimana dia setengah memaksa pada Papa untuk diijinkan tinggal dengan Mama.
“Pa, aku bisa melanjutkan pengobatan di Mount Elizabeth seperti rekomendasi Dokter Firman,” dengan terbata dia melanjutkan, “dan kalau memang aku tak selamat, aku ingin menghabiskan sisa waktu bersama Mama.” Papa yang sepanjang mereka berbincang selalu menggenggam tangan Tante Ina seketika tersuruk di bahu wanita yang dicintainya itu. Papa yang selama lima tahun selalu terlihat kuat di mata Pia malam itu menumpahkan airmata tanpa malu-malu.
“Ma …, leukemia bukan vonis mati. Aku kesini karena ingin menangkap energi Mama. Bergembira bersama Mama, sebelum aku lupa bagaimana rasanya tertawa bersama Mama.” Tangan Pia terulur mengambil kotak tisu dan menyodorkannya pada Mama.
Tawa kecil Pia menyela di tengah sedan tangis Mama. Telunjuknya meminta Mama untuk menoleh pada cermin di samping pintu kamar mandi.
“Baru menangis sebentar saja, mata Mama sudah sebesar bola ping-pong.”
Ini kali kedua Pia melihat sembab besar di wajah Mama. Sebelumnya adalah saat Mama harus meninggalkan Pia bersama Papa setelah putusan dari pengadilan dijatuhkan.
“Kalau begitu kamu tak usah pulang. Jangan kemana-mana lagi.”

Bersama sisa tangisnya Mama merengkuh Pia dan menciumi puncak kepalanya. Lama mereka berdua berpelukan dalam hening, sebelum Mama memekik ketika tetesan darah dari hidung Pia jatuh di punggung tangannya. Pia tak dapat mendengar panggilan mamanya lagi. Dia tengah melanjutkan perjalanannya.*)

Friday, October 27, 2017

Pilihan untuk Mina (Cerma - Minggu Pagi, Jum'at 20 Oktober 2017)





“Resital Kak Syair sebulan lagi,” ujar Mina. Ucapannya lirih. Setengah ragu. Lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Irma melirik sekilas pada Mina. Dia kurang yakin dengan telinganya. Mina sedang bicara dengan dia atau bukan, sih? Perhatian Irma kembali pada lembar majalah yang terbuka.

“Irma! Kamu beneran, nggak mau temani aku ke resital Kak Syair?”

Mendengar namanya disebut, barulah Irma menoleh.

“Menemani kamu berlatih saja aku mengantuk. Apalagi harus mendengarkan denting piano selama dua jam. Bisa-bisa aku terbius seperti Putri Aurora,” canda Irma sambil memejamkan kedua matanya.

Tapi Mina sepertinya tidak tertarik untuk tertawa. Irma jadi kikuk.

“Masalahnya apa, sih?” Irma menutup majalah dan serius menunggu jawaban Mina.

“Mamaku nggak kasih ijin kalau aku pergi sendiri. Padahal buat beli tiket aku harus minta uang Mama.”

Irma ikut diam termenung setelah mendengar jawaban Mina.

Sebenarnya Mina tahu beberapa siswa di sekolahnya yang akan pergi ke resital juga. Tapi tidak ada yang Mina kenal dekat. Dia merasa canggung kalau harus pergi bersama salah satu dengan mereka.

Sekali lagi Mina melancarkan tatapan memohon. Dan jawaban Irma tetap berupa gelengan kepala.

@@

“Minggu depan giliran kelasku menyiapkan mading. Gantian, ya, kamu bantuin aku,” kata Mina. Tangannya sibuk menggunting kolase puisi buatan teman-teman kelas Irma. Sementara Irma menempelnya serupa puzzle pada lembar karton yang lebih lebar.

Irma berdeham. “Kenapa kamu nggak minta ditemani resital sebagai balasan?”

“Aku, kan, menghargai alasan kamu,” Mina mengerling menggoda,”lagipula …, sayang juga tiketnya kalau cuma buat tidur di dalam hall.”

Irma tergelak.

“Eh, kenapa nggak pergi sama Suta aja?”

Mina terhenyak mendengar usul Irma. Ide itu sudah terlintas, tapi Mina malas. Apalagi beberapa hari ini kelakuan Suta makin meresahkan.

“Ih, enggaklah!” Tanpa sadar bahu Mina bergidik.

“Kenapa? Itu, kan, resital kakaknya. Pasti dia datang, dong,” ujar Irma berkeras.

Mina melempar pandangan ‘please …, deh’ pada Irma yang disambut dengan tawa berderai oleh sahabatnya itu.

Irma baru ingat kalau belakangan ini Mina seperti main petak umpet dengan Suta. Apalagi kemudian beredar kabar kalau Suta suka sama Mina.

“Apa nggak sebaiknya kamu terima dulu surat yang mau Suta kasih ke kamu. Jadi dia bisa berhenti kejar-kejar kamu.”

Mina mendengus keras. Rasanya ajaib kalau tiba-tiba Suta jadi mengejar-ngejar dia. Bukankah selama ini  mereka berteman baik? Lalu tiba-tiba Suta menjadi seperti orang asing. Jarang nongkrong sama-sama lagi di kantin. Nggak pernah lagi seru-seruan nunggu angkot.

Lalu tahu-tahu juga Suta bertingkah aneh. Mendekat sambil malu-malu dengan sepucuk amplop di tangannya. Mina tentu saja gugup dan memilih mencari alasan basi untuk menghindari Suta. Begitu terus yang terjadi selama beberapa hari ini. Begitu jambul Suta terlihat, Mina pun segera melesat berpindah tempat.

“Kamu nggak enak, kan, sama Suta? Karena diam-diam kamu suka sama Kak Syair?”

Tebakan Irma membuat Mina menutup muka.

@@

Irma tiba-tiba berdiri. “Min, tunggu sini dulu ya, aku mau pesan minum.”

Mina hanya mengangguk. Perhatiannya lekat pada tayangan youtube resital Syair tahun lalu yang tidak bisa Mina hadiri. Waktu itu bersamaan dengan ujian semester. Kali ini Mina harus bisa datang.

“Mina.”

Mina tergeragap. Baru sadar kalau bukan Irma yang memanggilnya.

Terlambat untuk menghindar. Suta sudah duduk di hadapannya.

“Kenapa, sih, ngilang-ngilang melulu?”

Bibir Mina mencebik. Barusan dia mengedarkan pandangan dan menemukan Irma duduk tak jauh dibelakangnya sambil melambaikan tangan dan tersenyum usil.

“Kamu, tuh, yang aneh duluan. Nggak pernah jalan sama-sama lagi sepulang sekolah. Nggak pernah gabung kongkow di kantin juga.”

Mata Suta berputar ke atas.

“Memangnya enak, kalau sepanjang jalan, selama waktu istirahat, yang diomongin abang aku terus.”

Mata Mina membulat.

Jadi, Suta jealous? Ah, kenapa dia tidak sadar? Rasanya ingin menepuk-nepuk jidatnya saat itu juga. Tapi tentu akan terlihat kocak di mata Suta.

Jari Suta mendorong sepucuk amplop ke arah Mina.

Duh, bagaimana ini. Berbutir-butir peluh memenuhi dahi Mina.

“Nggak usah panik gitu! Lihat dulu isinya.” Ada nada mendesak dalam suara Suta. Dia seperti bisa membaca kemelut di kepala Mina.

Mina bisa melihat jari-jarinya bergetar halus saat membuka amplop itu. Berikutnya bukan hanya matanya yang membulat. Mulutnya pun menganga lebar.

“Ya ampun, Suta! Ini dari Kak Syair?”

Padahal jelas-jelas ada goresan ‘from Syair’ pada bagian belakang amplop itu.

Tak sadar ada yang menggenang di pelupuk Mina.

Suta menyandarkan punggungnya. Dia terlihat puas dan lega.

“Tapi, sama siapa, ya?” Mina memandangi dua lembar tiket di tangannya.

Suta menghela napas keras-keras.

“Sama aku, lah! Memangnya kamu ada pilihan lain?”

Mina menutup mukanya dengan kedua tangannya. Sepertinya memang dia tak punya pilihan lain.



-SELESAI-

Wednesday, October 25, 2017

Tentang Rasa (Go Girl! Weekend Web Story - 17 Sep 2017)




Upacara pagi itu sudah tiba di penghujung akhir. Namun barisan kelas sudah tak jelas lagi bentuknya. Sebagian murid merapat ke depan. Sebagian lagi yang tak peduli memilih berebut bayangan pohon untuk menyelamatkan badan dari sinar hangat matahari pagi yang mulai menyengat.
Hasil lomba class meeting sedang diumumkan. Sorak dan tepuk terdengar bergantian di tiap barisan kelas. Kelas 3 IPA 3 bersaing ketat dengan 3 IPA 1. Perolehan medali mereka jauh di atas kelas-kelas lainnya dengan jumlah yang sama persis. Namun belum klimaks kalau belum terputuskan siapa Juara Umum tahun ini. Masing-masing hanya perlu unggul satu medali saja untuk memenangkannya.
Ketika Pak Dedi mengumumkan Lomba Menulis Cerpen sebagai cabang lomba terakhir, kedua kubu mendesah massal, karena kedua kelas yakin tidak mengikuti cabang lomba yang tidak populer itu.
Mereka berspekulasi kemungkinan akan ada re-match. Atau mungkin Juara Umum Ganda. Namun dengungan mereka terhenti saat 3 IPA 3 disebut sebagai Juara 1. Selama lima detik keheningan menyelimuti lapangan. Didetik ke-6 sorak sorai meledak, lebih gegap dari sebelumnya.
Perlu tiga kali ketukan keras pada mic untuk menenangkan kemeriahan dari barisan kelas yang mendadak menjadi Juara Umum itu.
“Mana ini Juara 1-nya, 3 IPA 3?” Pak Dedi melempar pandangannya pada barisan 3 IPA 3.
Untuk beberapa saat kepala-kepala dalam barisan paling ujung itu saling tatap dan bertanya-tanya. Tak ada satu pun yang tahu siapa yang mengikuti lomba cerpen dari kelas mereka. Sampai Pak Dedi harus memanggil nama sang pemenang.
“Shaumia Kamila!”
Barisan 3 IPA 3 kembali riuh. Beramai-ramai mereka mendorong seseorang yang tampaknya segan untuk tampil ke depan. Sampai-sampai Ardi si ketua kelas harus menghampiri dan membujuk gadis pemalu itu.
***
“Selamat, ya, Mia!”
“Untung kamu ikut lomba, Mi. Juara Umum, deh, kita…”
“Ternyata kelas kita punya cerpenis hebat. Keren!”
Bangku Mia di sudut belakang tiba-tiba penuh oleh anak-anak yang tadinya menoleh pun tidak pada Mia. Mungkin kuncir ekor kuda atau kacamata minus tebal dengan frame yang tak modis sama sekali yang jadi penyebabnya.
Diaz memperhatikan Mia dari tempatnya berdiri bersandar di tepi pintu kelas. Gadis pendiam itu tengah canggung menjawab satu per satu ucapan dan pertanyaan dari teman-temannya. Paling hanya satu minggu kehebohan ini berlangsung, setelah itu Mia akan kembali terlupakan, pikir Diaz.
“Woi! Pada balik ke meja masing-masing, dong!”
Diaz mengibaskan tangan pada satu anak yang duduk di atas mejanya, yang tepat bersebelahan dengan meja Mia. Seiring satu per satu anak-anak itu bubar, Diaz perlahan dapat melihat raut Mia yang menyiratkan ucapan terimakasih dalam senyum yang terulas tipis.
Selama sepersekian detik Diaz terpaku. Rupanya selama ini dia melewatkan wajah yang setenang permukaan kolam ikan di halaman belakang sekolah.
“Seharusnya aku sudah menduga kalau kamu suka menulis.”
Mia hanya selintas mengerling. Sepertinya dia kurang percaya dengan pendengarannya. Salah Diaz juga yang hampir tidak pernah mengajak Mia berbicara.
“Aku sering melihat kamu sembunyi-sembunyi mencatat sesuatu di buku kecil yang kamu simpan di lacimu.”
Kali ini Mia benar-benar menoleh. Lagi-lagi senyumnya tipis saja.
“Iya, aku harus segera menulis yang terlintas di kepala sebelum lupa. Ingatanku nggak bagus.”
Dua kalimat dari Mia, meskipun lirih, mampu membuat Diaz tertegun. Memorinya terusik. Tiba-tiba Diaz merasa Mia tidak terlalu asing baginya.
***
“Aku juga pernah lihat kamu sembunyikan novel di balik buku pelajaran.”
Mia nyaris terlonjak dari bangku di sudut paling sepi di dalam perpustakaan. Diaz tahu-tahu saja sudah berdiri di belakangnya.
“Padahal tiap jam istirahat kamu selalu ke perpus. Rupanya waktu membacamu masih kurang, ya?” Diaz mengambil duduk di seberang meja, berhadapan dengan Mia.
Mata Mia menyipit di balik kacamatanya saat dia menyengir. Hidung mungilnya jadi terlihat lucu. Mia geli sekaligus heran. Diaz yang terlihat acuh ternyata perhatian juga padanya. Dia harus senang atau justru berhati-hati?
“Hmmm…, mungkin karena aku tidak punya kegiatan lain saat jam istirahat. Jadi apa salahnya membaca?”
Mia melirik jam tangannya. Dia ingin meneruskan bacaannya yang tersela oleh Diaz tadi, tapi bel masuk akan berbunyi sebentar lagi. Terburu dia bangun untuk mengembalikan buku di rak. Saat kembali ke meja untuk mengambil buku catatannya, Mia tersentak. Diaz tengah membolak-balik buku catatannya. Buru-buru dia merebut buku itu.
Diaz tertegun. Meski tidak berucap apa pun, wajah Mia cukup menyiratkan perasaannya. Diaz menyesal. Buku catatan Mia tadi bukan hanya coretan ide menulisnya, tapi seperti buku harian. Diaz bisa meraba warna hati Mia meski dari sedikit yang dia baca.
***
Diaz masih belum berhasil mengajak bicara Mia sejak kejadian di perpus tempo hari. Sapaan yang dia lontarkan hanya berbalas diam. Diaz sampai menghabiskan jam istirahatnya di perpus, namun Mia mengambil tempat duduk di samping Bu Atin, pegawai perpustakaan yang akan berdesis dengan keras jika ada keributan sedikit saja.
Tiba-tiba Diaz terkejutkan oleh sesuatu. Dia bangun lalu membesarkan volume radio pada meja belajar di samping tempat tidurnya. Dia cermati lagi suara Shaka, penyiar radio yang dia suka. Vokalnya yang bening kadang membius Diaz, sampai-sampai menjadi lagu pengantar tidur baginya.
“Sobat Mada FM, Shaka ingin putarkan lagu berikut ini untuk siapa saja yang tengah mati gaya. Hanya bisa menatap cinta tanpa bisa mengatakan apa-apa. Dan hanya resah yang bisa kalian isyaratkan pada sang cinta.”
Diaz tak pedulikan alunan syahdu dan indah dari Payung Teduh yang membawakan Resah. Perhatiannya terfokus pada ‘sang cinta’, rasanya dia ingat di mana pernah membacanya.
***
Diaz berdiri diam di ujung bangku Mia. Dia menunggu sampai Mia mengangkat wajah dan berhenti pura-pura membaca apa pun di telepon genggamnya.
“Diaz, aku sudah maafkan kamu. Sekarang duduklah di bangkumu sendiri.”
Mia buru-buru kembali menunduk. Diaz sempat menangkap jengah di wajahnya. Dia pun menurut, kembali duduk di bangkunya meski kemudian mencondongkan badannya pada Mia.
“Jadi siapa Sang Cinta itu, Shaka?”
Dari napasnya yang tercekat, Diaz tahu kalau tembakannya barusan tepat mengenai sasaran. Namun rasa puasnya berganti sesal, ketika wajah Mia berangsur memucat.
“Hei, nggak perlu secemas itu. Rahasiamu aman bersamaku.” Diaz tersenyum untuk menenangkan Mia. Tapi sepertinya tak berhasil. Bulir-bulir keringat dingin mulai turun di dahi Mia.
“Kamu pasti sempat membacanya di bukuku kemarin. Jadi kamu pasti tahu, kan, siapa orangnya?” bisik Mia.
Diaz terkejut. Untuk beberapa saat dia berusaha mengingat kembali. Tapi nihil. Dia hanya ingat ‘sang cinta’ yang ditulis Mia berulang kali di buku itu.
“Aku nggak berpikiran jauh. Kukira itu draft tulisan kamu. Cerita fiksi.”
Tetap saja Mia gelisah. Bolpoin di tangannya mengetuk-ngetuk meja dalam irama macam kode darurat morse.
Sebetulnya tak hanya Mia yang menyimpan resah. Diaz pun belingsatan sendiri dengan geliat yang tengah bermain-main di dadanya. Apalagi setelah dia tahu kalau Shaka, penyiar favoritnya, yang menemani malam-malamnya, adalah Mia, teman satu kelas, penghuni bangku sebelah.
Apakah dia sedang jatuh cinta? Diaz mengakui telah jatuh cinta sejak lama pada Shaka, meski hanya karena suaranya. Tapi apakah itu berarti dia kasmaran juga pada Mia? Lagipula, siapa itu ‘sang cinta’? Sepertinya orang itu teramat istimewa bagi Mia.
***
Sebetulnya tidak ada yang aneh. Sebelumnya pun Diaz nyaris tidak pernah bercakap dengan Mia. Tapi sekarang Diaz sangat terganggu dengan kesunyian di antara mereka. Setiap perkataannya hanya berbalas anggukan ataupun gelengan.
“Mia, aku tahu tempat yang asyik buat kamu konsentrasi menulis.”
Diaz duduk menyamping, menghadapkan badan pada Mia dan berharap-harap cemas menunggu reaksinya.
“Ehmm…, di mana itu?”
Yes! Batin Diaz bersorak.
Baru saja mulutnya terbuka ketika tiba-tiba Ardi mendatangi mereka.
“Sorry ganggu bentar,” tangannya terangkat ke arah Diaz sebagai isyarat menyela percakapan. Entah kenapa Diaz tidak senang dengan interupsi itu.
“Mia, jam istirahat ke-2 nanti kamu dipanggil Bu Tami. Kamu mau diikutkan lomba menulis fiksi antar sekolah.”
“Ahh…, oh, ya....” Hanya suara-suara tak jelas yang keluar dari mulut Mia.
Diaz memperhatikan gelagat Mia yang tiba-tiba seperti ikan kehabisan oksigen.
“Mau aku temani?” Ardi menawarkan diri karena Mia terlihat gugup.
“Biar aku saja yang temani!” sela Diaz.
Mia sama terkejutnya dengan Diaz. Entah kenapa Diaz tidak nyaman melihat Mia salah tingkah dan tampak tersiksa.
“Oke kalau begitu.” Ardi pun undur diri.
Mia dan Diaz sama-sama memperhatikan punggung Ardi yang tengah berjalan menjauh. Namun Diaz yang lebih dulu berpaling dan kembali menatap Mia.
“Dia, kan, orangnya?”
Mia menoleh. “Orang apa?”
“Sang Cinta…”
Untuk sesaat Diaz kesulitan mengartikan tatapan mata Mia. Bola mata Mia bergerak-gerak seperti hendak menembus mata dan mencapai ke dalam kepalanya. Sekarang giliran Diaz yang jadi kikuk.
“Kenapa kamu sebegitu ingin tahu?”
Diaz terpojok. Dia mengakui sifat cowok seusianya yang hanya perhatian kalau ada maunya saja. Biasanya mereka hanya peduli segala hal tentang diri mereka sendiri. Hobi, olahraga kesukaan, dan band idola misalnya. Lalu keingintahuannya pada Mia apakah juga menyangkut dirinya sendiri? Pentingkah untuk dia ketahui?
Melihat Diaz terdiam, Mia merasa paham karena dia juga sering mengalaminya. Diam-diam dia menyembunyikan senyumnya.
“Diaz, kalau kamu mau tahu. Bukan dia orangnya. Lagian Sang Cinta itu hanya rekaan.”
Kalau saja Mia mau menahan tatapannya sebentar saja. Dia akan menangkap sorot lega dan kecewa yang bergantian di mata Diaz.
***
“Dear, Sobat Mada FM… Pernah tidak kalian merasakan jatuh cinta yang luapnya tertahan di tenggorokan? Rasa yang ada di dadamu membuncah, tapi tak sampai tumpah. Pernahkah?”
“Ini untuk kamu, yang…mungkin punya rasa yang sama dengan yang Sakha rasakan di sini.”
… Mataku terus tertuju padamu
Ingin ku sapa dirimu
Namun ku masih malu tuk hampiri dirimu
Diriku terdiam, aku menunggu, aku terpaku…
Lirik lagu Maliq semalam terus berputar di kepala Diaz. Seakan menabuhi setiap langkahnya hingga mencapai pintu kelas.
Ajaib. Sesaat dia berhenti di ambang pintu, musik di kepala Diaz pun berhenti. Bersamaan dengan kepala Mia yang terangkat, menoleh ke arah pintu kelas dan menemukan Diaz berada di sana. Seketika mereka berdua tahu, tentang rasa yang sedang genit menggoda mereka berdua.
*****
Website Gogirl! www.gogirlmagz.com pada Minggu, 26 Februari 2017.