Doc. Pribadi |
“Mama senang kamu ke
sini.”
Pia membalas pelukan mamanya
dan meringis ketika dekapan itu semakin erat.
Mama masih sama seperti
terakhir kali dia mengingatnya. Potongan rambutnya juga tidak berubah. Mama
selalu mempertahankan rambut ikal sebatas tengkuknya. Hanya harum tubuh Mama
yang asing bagi Pia.
Mama menanyakan kabar
Papa sembari menarik koper bawaan Pia.
“Akhir-akhir ini Papamu
nggak bisa ngobrol lama-lama sama Mama, Pi. Papamu sedang sibuk, ya?”
Mama menoleh karena tak
didengarnya jawaban dari Pia. Padahal Pia sudah menjawab ‘ya’ meski hanya dia
yang dapat mendengarnya. Changi sore itu memang luar biasa bisingnya.
“Capek, ya, kamu?”
Mama mengambil ransel
di bahu Pia dan memindahkannya ke bahu kirinya. Sementara lengan kanannya
bergerak merengkuh bahu Pia. Untuk sesaat Pia tenang karena Mama mengira dia
lesu karena lelah.
***
Apartemen Mama di
Little India terasa tak jauh beda dengan apartemen Papa di Kalibata. Hanya
orang-orang di sekitarnya saja yang membuat Pia canggung. Mereka dengan ringan
melempar senyum. Muka-muka ramah yang justru membuat Pia ingin segera berlari
ke sudut ruangan dan menutup dirinya dengan apapun.
“Kamu nggak buru-buru
pulang, kan?”
Pia menghirup uap yang
keluar dari mangkuk penne carbonara-nya
sebelum menggelengkan kepalanya. Kegemaran makanan mereka masih sama, pasta.
Dan pasta buatan Mama tak ada duanya buat Pia.
“Kalau boleh, Pia
rencananya mau empat hari di sini, Ma.”
Lihat, seiring bahu
yang sontak menegak dan mata yang membulat, Mama memekik senang. Pia bahagia
bisa melihat lucunya ekspresi Mama lagi.
“Kamu mau seminggu juga
boleh, sayang. It’s ok!”
Tapi sedetik kemudian bibir
Mama mencebir sebal.
“But, mungkin kamu harus sendirian dulu hari ini. Mama ada ada
meeting penting.”
Tangan Mama bergerak
menggenggam kedua tangan Pia.
“Maaf, ya. Mama
usahakan bisa pulang lebih cepat, lalu kita dinner
di tempat yang asyik.”
Pia mengangguk. Sambil
perlahan menghabiskan sarapannya, mata Pia menikmati pemandangan saat Mama
berloncatan dari meja dapur, memungut buku-buku di ruang tengah, mengeluarkan
handuk ke balkon, menyusun benda-benda di atas kulkas, menata bantal kursi dan
merapikan tempat tidur. Semua bisa Pia ikuti dari tempatnya duduk, di kursi
bar, di dapur mini Mama.
Coba Papa melihat ini.
Pasti ijin melepas Pia untuk tinggal bersama Mama tidak akan pernah dikeluarkan.
Papa mengira setelah menjalani karir yang diimpikannya, hidup Mama akan lebih
rapi dan teratur. Namun rupanya tidak.
Entah kenapa Pia justru
ingin tersenyum. Baginya Mama merasa bahagia saja sudah cukup. Pia tidak pernah
merasa kehilangan cinta Mama, meski wanita itu lebih memilih peluang karir yang
hebat daripada bersama Pia. Dia cukup mengerti bahwa ketika itu bukan Mama yang
ingin berpisah dengannya, tapi Papa yang tidak mengijinkan Mama membawa Pia.
“Mamamu itu selebor.
Papa lebih bisa mengurusmu daripada Mama.”
Waktu Papa mengatakan
itu, Pia juga tak bisa berkeluh. Itulah bentuk cinta Papa. Tapi itu kemarin,
waktu hanya ada Pia dan Papa berdua saja. Tapi sekarang ada Tante Ina. Masih
bisakah Papa mengurusnya?
Apalagi dengan kondisi
Pia sekarang ini. Hidup bersama Mama yang berjiwa riang dan ringan akan lebih
nyaman bagi Pia. Karena kecemasan yang kerap bersarang di mata Papa hanya
membuat dada Pia makin tercubit.
***
Seingat Pia janji Mama
memang tidak pernah meleset. Sore ini pun Mama memenuhi ucapannya dengan muncul
di pintu apartemen tepat waktu.
“Yuk, sudah siap?”
Pia tak heran lagi
melihat Mama yang hanya masuk untuk berganti alas kaki dan menukar blazernya
dengan cardigan.
“Nggak ingin mandi
dulu, Ma?”
Mama memberi kode pada
Pia untuk mengikutinya.
“Mama biasa mandi
malam, karena pulangnya selalu malam juga,” seloroh Mama diikuti tawanya yang
lepas dan renyah. Mood Pia yang semula jelek karena bosan pun berangsur
membaik.
Setelah melewati dua
stasiun MRT, Mama membimbing Pia turun ketika kereta tiba di stasiun Clarke
Quay.
”Di sini tempatnya
anak-anak muda hangout. Semoga kamu suka!”
Begitulah Mama. Tidak
pernah belagak sok tua dengan menebak apa yang Pia suka. Dan harapan Mama
terkabul. Pia memang menyukai atmosfer ceria di dermaga ini.
Banyak muda-mudi seusia
Pia yang berkelompok duduk-duduk santai di tepi Singapore River. Pia memberi isyarat pada Mama ketika akan mengambil
bangku yang sedikit menjauh dari keriuhan, meski masih berada di dekat bibir
sungai juga. Restoran-restoran yang ada di situ baru sedikit yang buka, jadi
suasana sore itu masih belum begitu ramai. Sambil menunggu Mama membawakannya
makan malam, Pia mengikuti alun perahu-perahu kecil berlampu warna-warni dengan
matanya.
“Tadi Papamu telpon
Mama,” Mama meletakkan nampan yang dibawanya sebelum duduk di seberang Pia,”Papamu
ingin tahu apakah kamu baik-baik saja.”
Pia takjub dengan chicken wings satu pot besar yang ada di
hadapannya. Dia baru sadar kalau tidak ada makanan lain yang dibawa oleh Mama.
Jadi ini yang disebuat makan malam oleh Mama? Pia geli sendiri namun dia menyimpan
senyumnya.
“Papa bilang apa lagi,
Ma?”
Mama terlihat sedikit
ragu sebelum memberikan jawabannya. “Hmmm …, Papamu bilang kalau … dia mau menikah
lagi.”
Pia menegakkan punggung
lalu mendekatkan wajahnya ke arah Mama. Senyumnya mengembang.
“Tenang, Ma. Aku nggak
papa, kok! Tante Ina, calonnya Papa itu orangnya baik.”
Kekhawatiran di wajah
Mama lenyap. Berganti dengan pandangan menyelidik dengan satu alis mata
terangkat.
“Seperti apa Tante Ina
itu?”
Pia mencecap-cecap sayap
ditangannya. Sengaja memberi jeda tak segera menjawab untuk menggoda Mama.
“Sama sekali tidak
seperti Mama,” ujar Pia singkat. Matanya melirik pada Mama. Lalu sedetik
kemudian mereka terbahak sama-sama.
“Syukurlah …, syukurlah
…,” kata Mama disela sengal tawanya.
“Lalu, Papa cerita apa
lagi, Ma?” Pia merasakan suaranya sendiri bergetar. Semoga Mama tidak
menyadarinya.
“Cuma itu aja. Selain
menanyakan kabarmu, dan kapan kamu mau pulang.”
Debar di dada Pia
semakin membuatnya gugup. Buru-buru disambarnya gelas orange juice dan membuang pandangannya kembali pada perahu-perahu
kecil di atas air sungai yang mulai memantulkan cahaya lampu-lampu hias. Berarti
Papa menepati janjinya untuk membiarkan Pia sendiri yang bercerita pada Mama.
***
Ornamen-ornamen decoupage di beberapa sudut ruangan
menyelamatkan dinding apartemen Mama dari kekosongan. Hanya ada dua bingkai
foto di dalam apartemen dua kamar itu. Satu di atas nakas di kamar Mama, satu
lagi di atas meja kaca yang membatasi dapur dan ruang tengah. Keduanya berisi
foto Pia dan Mama.
Pia menoleh dengan
enggan dan mengernyit heran saat Mama keluar dari kamar memakai baju yang
dipakainya semalam. Geraknya pun santai. Tidak gedubrakan seperti biasa kalau
akan berangkat kerja.
“Besok, kan, kamu mau
pulang. Jadi Mama ambil cuti dua hari,” jawab Mama waktu Pia menyatakan
keheranannya.
“Jadi, kamu mau Mama
antar kemana hari ini?”
Pia menaikkan kerah
kimono yang dia pakai. Tiba-tiba saja hawa dingin menyelinap dan membelai
tengkuknya.
“Nggak usah
kemana-mana, Ma. Kalau cuma mal pertokoan, sih, di Jakarta juga ada.”
Denting kepala sendok
beradu dengan dasar gelas mengisi keheningan, bersamaan dengan harum kopi yang
menguar.
“Di sini nggak melulu
pertokoan, lho! Ada wisata alamnya juga.”
Segelas teh hangat
berpindah ke tangan Pia. Mama yang membuatnya.
“Gimana kalau kita
ngobrol-ngobrol aja?”
Terburu-buru Mama
meletakkan cangkir kopinya. Punggung tangannya bergerak menyentuh dahi dan
kedua pipi Pia.
“Kamu sakit? Nggak
panas, tuh? Capek ya, kebanyakan jalan?”
Senyum simpul terukir
di wajah Pia waktu Mama bicara panjang lebar tentang kebiasaan jalan kaki
orang-orang di Singapura.
“Kalau kita jalan 300
meter aja udah merasa jauh. Kalau di sini, 500 meter sampai 1 kilo masih
dibilang dekat.”
Tangan Mama bergerak
lagi. Kali ini telapak tangannya menangkup di kedua sisi leher Pia.
“Nggak hangat , tuh.”
“Ma …,” Pia mengambil
tangan Mama dari leher namun tak melepaskan genggamannya.
“Aku mungkin akan
tinggal dengan Mama.”
Lagi-lagi Pia
mengernyit ketika genggaman tangan Mama tiba-tiba mengencang.
“Benar? Tapi kenapa?”
Mama membutuhkan satu teguk kopi untuk menenangkan dirinya,”Apa karena Papamu
mau menikah lagi?”
Pia membenarkan ucapan
Mama lewat senyuman dan alis yang naik turun.
“Iya, salah satu
sebabnya itu.” Perlahan punggung Pia rebah. Kepalanya memaling ke kanan
menumpukan pipi pada puncak sandaran kursi, lalu menatap lekat tepat di mata
bulat Mama.
“Aku sakit, Ma.”
Sungguh Pia ingin
berhenti bicara ketika dilihatnya Mama berangsur pias dan lupa menarik napas.
Tapi dia harus bercerita selagi masih ada nyawa di tubuhnya. Tentang penyakit
leukemia yang tiga tahun lalu diketahui hinggap di badannya. Tentang entah
bagaimana penyakit itu tahu-tahu sudah menjadi stadium tiga.
“Papa menunggu aku
memberi tahu Mama. Setelah itu Papa akan membicarakan segala sesuatunya dengan
Mama.”
“Tapi …, bagaimana …?”
Kelu batin Pia melihat Mama yang mendadak jadi gagu.
Pia menjelaskan hasil
diskusinya dengan Papa. Tapi dia melewatkan bagian dimana dia setengah memaksa
pada Papa untuk diijinkan tinggal dengan Mama.
“Pa, aku bisa
melanjutkan pengobatan di Mount Elizabeth seperti rekomendasi Dokter Firman,”
dengan terbata dia melanjutkan, “dan kalau memang aku tak selamat, aku ingin
menghabiskan sisa waktu bersama Mama.” Papa yang sepanjang mereka berbincang
selalu menggenggam tangan Tante Ina seketika tersuruk di bahu wanita yang
dicintainya itu. Papa yang selama lima tahun selalu terlihat kuat di mata Pia malam
itu menumpahkan airmata tanpa malu-malu.
“Ma …, leukemia bukan
vonis mati. Aku kesini karena ingin menangkap energi Mama. Bergembira bersama
Mama, sebelum aku lupa bagaimana rasanya tertawa bersama Mama.” Tangan Pia
terulur mengambil kotak tisu dan menyodorkannya pada Mama.
Tawa kecil Pia menyela
di tengah sedan tangis Mama. Telunjuknya meminta Mama untuk menoleh pada cermin
di samping pintu kamar mandi.
“Baru menangis sebentar
saja, mata Mama sudah sebesar bola ping-pong.”
Ini kali kedua Pia
melihat sembab besar di wajah Mama. Sebelumnya adalah saat Mama harus
meninggalkan Pia bersama Papa setelah putusan dari pengadilan dijatuhkan.
“Kalau begitu kamu tak
usah pulang. Jangan kemana-mana lagi.”
Bersama sisa tangisnya
Mama merengkuh Pia dan menciumi puncak kepalanya. Lama mereka berdua berpelukan
dalam hening, sebelum Mama memekik ketika tetesan darah dari hidung Pia jatuh
di punggung tangannya. Pia tak dapat mendengar panggilan mamanya lagi. Dia
tengah melanjutkan perjalanannya.*)